Indonesia Tak Serius Atasi Rasisme

June 16, 2020Press Release

[Jakarta, 16 Juni 2020] – Pemerintah Indonesia dinilai tidak serius dalam menangani dan mencegah kejahatan  dan diskriminasi atas dasar ras dan etnis. Hal itu disampaikan M. Choirul Anam, Komisioner Komnas HAM  dalam diskusi daring bertema “Mengatasi Rasisme Terstruktur di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Human  Rights Working Group (HRWG) pada Senin (15/6).  

Indikatornya menurut Anam adalah apakah negara mengunakan seluruh instrumennya untuk mengusut dan  mencegah rasisme di Indonesia seperti mandat UU No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan  Etnis. Ia memberi contoh, bagaimana konstruksi kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya tahun  lalu. “Tak ada satupun pelaku baik tentara maupun sipil yang terlibat dalam penyerangan asrama mahasiswa  Papua tersebut yang dikenakan proses hukum dengan kerangka rasisme. Mereka hanya dikenakan pasal  membuat keonaran, yang konsekuensi hukumnya jauh berbeda. Penegakan hukum tidak masuk ke inti persoalan  rasisme,” katanya.  

Anam menyatakan, dalam kerangka HAM, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk  Diskriminasi Rasial (ICERD) adalah konvensi pertama di dunia yang menegaskan bahwa pengentasan  diskriminasi rasial adalah jantungnya hak asasi manusia, untuk melihat manusia tanpa perbedaan, untuk  meletakkan manusia sebagai manusia. ICERD memberi definisi terdapat empat bentuk diskriminasi, yaitu  pembedaan, pengecualian, pembatasan dan pengutamaan. Aspek “pengutamaan” seringkali dilakukan oleh  pemerintah dalam membuat kebijakan tanpa disadari. Padahal, pengutamaan satu kelompok ras atau etnis  tertentu merupakan sebuah diskriminasi. Dalam praktiknya, diskriminasi ras di Indonesia diproduksi oleh  kekuasaan, oleh kebijakan. 

Rasisme di Dunia Pendidikan dan Industri Kecantikan 

“Salah satu adik perempuan saya, keturunan Ambon-Timor, berkulit gelap dan berambut keriting. Dia sekolah  di Depok, SD. Makanan dia sehari-hari, setiap kali ia masuk kelas teman-temannya akan bernyanyi ‘keriting  keribo, yang hitam makan tahi kebo (kerbau)’, itu terjadi di dunia pendidikan di depan tenaga-tenaga pengajar,”  ujar Direktur SKPKC Fransiskan Papua Yuliana Langowuyo. 

Yuliana menggambarkan sikap masyarakat terhadap orang-orang Papua tak pernah terlupakan. Tanpa disadari,  sikap rasisme juga tergambar melalui iklan-iklan kosmetik di televisi yang kerap menganggap kulit hitam sebagai  hal buruk. Permasalahannya, informasi yang utuh tentang bagaimana seharusnya hidup dalam bingkai  multikulturalisme dan saling menghargai juga tak pernah menjadi agenda yang terus-menerus digalakkan oleh  Pemerintah. Tidak jarang guru-guru di kelas berkelakar dan/atau sengaja mengolok-olok tentang karakter fisik  orang timur, termasuk Papua, yang berkulit hitam dan berambut keriting. Rasisme terhadap suatu kelompok  tertentu disebarluaskan sedemikian rupa, hingga orang tak lagi menganggap hal itu salah.  

Rasisme terhadap Etnis Tionghoa 

Di Indonesia, rasisme tidak hanya menyasar masyarakat Papua saja. Fakta menunjukkan sepanjang sejarah, etnis  Tionghoa juga kerap menjadi sasaran kebijakan atau perlakuan diskriminatif. Puncaknya terjadi pada tahun 1998  dalam kerusuhan menjelang jatuhnya Soeharto. Masyarakat etnis Tionghoa banyak yang menjadi sasaran  rampok, jarah, dan tak sedikit pula yang dibunuh dan diperkosa. 

Diskriminasi atas etnis Tionghoa yang terjadi juga tidak muncul begitu saja, tetapi merupakan konstruksi sosial  yang telah sengaja dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Profesor Melani Budianta, Guru Besar  Universitas Indonesia yang salah satu kepakarannya adalah studi paska-kolonialisme, mengatakan, di zaman  penjajahan, Pemerintah Kolonial Belanda memisah-misahkan penduduk berdasarkan etnisnya. Paling atas  Belanda, lalu Timur Asing (termasuk Tionghoa), dan penduduk asli Indonesia yang beragam suku digeneralisasi  dengan sebutan Pribumi. 

Dalam praktiknya, waktu itu etnis Tionghoa dipasang sebagai penarik pajak, sehingga kalau ada amuk massa,  maka etnis Tionghoa akan menjadi sasarannya. Dalam kehidupan sehari-hari pun kemudian interaksi antar etnis  ini dibatasi hanya sebatas urusan perdagangan di pasar saja untuk mencegah terbangunnya solidaritas melawan  kolonial Belanda. 

Pasca kemerdekaan, lanjutnya, diskriminasi ini malah semakin dikokohkan, salah satunya ketika pada tahun  1954 Indonesia menerapkan kebijakan ekonomi Ali-Baba yang menempatkan etnis Tionghoa dalam posisi  khusus di bidang bisnis. Ini menimbulkan kesan pebisnis Tionghoa dekat dengan penguasa. Pada tahun 1965,  seluruh hal yang berbau Tionghoa juga mendapat stigma negatif, terutama karena Tiongkok pada waktu itu  berhaluan komunisme. Setelah itu, oleh Negara, hak-hak etnis Tionghoa semakin dibatasi, tak boleh berurusan  dengan urusan publik dan hanya diizinkan di sektor bisnis. Implikasinya, menjadi segregasi sosial di bidang  ekonomi yang memuncak pada tahun 1998 ketika krisis ekonomi, etnis Tionghoa menjadi sasaran. 

Profesor Melani kemudian menekankan perlunya dibangun narasi-narasi tanding serta budaya-budaya tanding  untuk mengatasi kebencian berbasis rasial. Pentingnya dibangun pula ruang-ruang bersama dan penguatan penguatan berbasis komunitas. “Perlu disebarluaskan cerita-cerita tentang bagaimana ada seorang etnis Tionghoa yang  diselamatkan oleh orang etnis Arab pada tahun 1998, dan sebagainya,” katanya. Pendidikan dan kebudayaan berbasis  Pancasila juga dinilai sebagai alat yang baik untuk penguatan solidaritas kebangsaan, yang juga tetap harus  dilindungi oleh hukum dan tatanan kenegaraan.  

Gerakan Anti Rasisme di Masyarakat 

Dalam konteks yang lebih luas, rasisme memang telah menjadi masalah besar di dunia internasional. Menurut  Dr. Ani Soetjipto, Dosen Senior Hubungan Internasional Universitas Indonesia, rasisme adalah satu sistem  sosial politik yang membentuk hirarki berlapis, hirarki sosial, dan relasi kuasa yang tak seimbang. Contoh  terburuk adalah politik apartheid di Afrika Selatan puluhan tahun lalu. Namun demikian, rasisme dalam  praktiknya masih ada hingga saat ini.  

Masih hangat dalam ingatan kita pembunuhan atas George Floyd oleh anggota kepolisian Minneapolis, Amerika  Serikat akhir Mei lalu. Peristiwa itu adalah sepotong kecil dari sejarah panjang rasisme atas kulit hitam di  Amerika, yang diawali oleh perbudakan ratusan tahun lalu dan berlanjut di era Perang Sipil. Meskipun pada  tahun 1965 Martin Luther King, Jr. berhasil membawa perubahan dengan diakuinya persamaan hak-hak sipil,  namun diskriminasi itu tetap melekat dalam kebiasaan, segregasi, perbedaan tempat tinggal, akses pendidikan,  lapangan pekerjaan dan lainnya.  

“Kasus George Floyd menunjukkan hal itu, bahwa terpilihnya Obama jadi Presiden Amerika Serikat tidak  menegasikan adanya diskriminasi di tatanan mindset,” jelasnya. 

Begitu seriusnya masalah rasisme ini, dunia internasional membuat setidak-tidaknya tiga regulasi untuk  menyikapi dan meminimalisir diskriminasi yang mungkin terjadi karena rasisme. Menurut Ani, organisasi  pekerja internasional atau ILO mengeluarkan konvensi tentang pengentasan diskriminasi rasial di lingkup kerja.  Ada juga konvensi dari UNESCO untuk mengentaskan diskriminasi rasial di bidang pendidikan. 

Seluruh narasumber bersepakat mengatasi rasisme harus dengan gerakan sosio-kultural, tidak cukup hanya  mengandalkan proses penegakkan hukum. []

Rekaman video diskusi daring “Mengatasi Rasisme Terstruktur di Indonesia” telah diunggah ke kanal YouTube  Indonesia’s NGO Coalition. Berikut tautannya:  https://www.youtube.com/watch?v=mUdfNSsAQWk&t=1141s 

Kontak: M. Hafiz, Direktur Eksekutif HRWG: 081282958035

Other Articles