Evaluasi Rekomendasi AFML (ASEAN Forum on Migrant Labour)

August 5, 2021ASEAN

Buruh migran atau dikenal dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan  suatu permasalahan yang belum mendapatkan perhatian serius oleh  Pemerintah Indonesia. Meskipun ratifikasi Konvensi Internasional  Perlindungan Buruh Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya telah  dilakukan, upaya ini sayangnya tidak diikuti dengan revisi UU No. 39 tahun  2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar  Negeri (PPTKILN). Akibatnya, perlindungan terhadap buruh migran masih  diterapkan secara setengah-setengah, reaktif dan tambal sulam, karena  sejak awal UU ini disusun tidak menempatkan aspek perlindungan sebagai  komponen utama pengaturan buruh migran di Indonesia.  

Pendekatan bisnis di dalam UU No. 39/2004 telah menempatkan buruh  migran sebagai kelompok rentan, mulai dari di dalam negeri, negara tujuan,  hingga proses purna. Padahal, ditegaskan jelas di dalam konvensi bahwa  perlindungan buruh migran harus dilakukan secara komprehensif dan diatur  di dalam hukum nasional. Di sisi yang lain, pengaturan buruh migran masih  diserahkan kepada kelompok bisnis dan korporasi (perusahaan penyalur)  yang tidak mendapatkan pengawasan serius dari pemerintah. Akibatnya,  dalam banyak kasus buruh migran menjadi korban eksploitasi dan kekerasan  perusahaan penyalur, berikut pula pihak-pihak yang meraup keuntungan dari  proses migrasinya.  

Adalah penting untuk mengembalikan tanggung jawab perlindungan buruh  migran kepada negara, karena secara struktural negara telah dibekali dengan  pelbagai perangkat, baik di dalam negeri, negara transit maupun di negara  tujuan. Kehadiran negara harus mewujud pada sistem perlindungan utuh  terhadap segala situasi rentan buruh migran, terutama bagi buruh migran  perempuan yang lebih banyak bekerja di sektor domestik pekerja rumah  tangga.  

Demikian halnya di level ASEAN yang nota bene mengarah pada satu  komunitas regional. Buruh migran harus dilihat dalam kerangka perlindungan  bagi setiap orang untuk bekerja di luar negeri dan mendapatkan keuntungan  dari kerjanya secara layak, serta mendapatkan perlindungan dari negara  tujuan bekerja. Hal ini meniscayakan adanya prinsip non-diskriminasi dari  negara terhadap siapapun yang ada di negaranya, sehingga perlindungan dan  pemenuhan hak buruh migran dapat tercapai. Selain itu pula, upaya-upaya  perumusan instrumen perlindungan buruh migran di level kawasan harus  segera diadopsi oleh ASEAN sebagai organisasi agar permasalahan buruh  migran ini tidak berlarut-larut. 

Dalam hal ini pula, sebagai upaya minimal terhadap perlindungan buruh  migran, ASEAN Forum on Migrant Labour (AFML) yang dilaksanakan setiap  tahun oleh komponen-komponen penting di kawasan seharusnya dapat  terlaksana secara baik, dengan sistem pemantauan dan monitoring yang  jelas dari masing-masing negara, pengusaha, serikat buruh, serta masyarakat  sipil. Jika tidak, maka AFML hanya akan menjadi ajang pertemuan formalitas  tahunan yang sama sekali tidak memberikan dampak positif bagi buruh  migran di ASEAN. Lebih dari itu, setiap negara juga harus bekerjasama  menghilangkan egosentris masing-masing agar upaya perlindungan dan  pemenuhan hak buruh migran ini dapat terlaksana, karena pada prinsipnya  rekomendasi AFML sendiri merupakan kesepakatan di antara para pihak dari  10 Negara Anggota ASEAN itu sendiri. 

Hadirnya buku ini, yang disusun oleh sejumlah penulis dan diterbitkan oleh  HRWG, diharapkan dapat memberikan gambaran utuh tentang problematika  buruh migran di Indonesia dalam kaitannya politik antarnegara di kawasan  ASEAN. Dengan berpedoman pada rekomendasi-rekomendasi AFML, yang  dikaitkan dengan situasi buruh migran di dalam negeri dan negara tujuan,  termasuk pula standar HAM internasional, diharapkan dapat memberikan  input positif bagi perlindungan dan pemenuhan buruh migran ke depan.  Harapannya, kajian ini juga dapat memberikan kontribusi signifikan dalam  proses pembentukan instrumen buruh migran di ASEAN.  

Saya –atas nama HRWG, ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar besarnya kepada Yayasan TIFA selaku pihak yang telah mendukung pembuatan  buku ini, Jaringan Buruh Migran (JBM), khususnya presidium advokasi  ASEAN, ASEAN Task Force on Migrant Labour yang mendorong jaringan  CSOs Indonesia untuk menyiapkan AFML setiap tahunnya. Juga, kepada  kepada rekan-rekan buruh migran Indonesia yang memberikan masukan dan  berbagai pengalamannya, dan pihak-pihak lain yang membantu pembuatan  buku ini dan tidak dapat saya sebutkan satu-persatu.  

Terlepas dari segala kekurangannya, semoga ikhtiar pembuatan buku ini dapat  disambut dengan diskusi lanjutan untuk mendorong perbaikan perlindungan  dan tata kelola buruh migran di Indonesia dan di ASEAN. Selamat membaca! 

 

Muhammad Hafiz  

Direktur Eksekutif HRWG 

 

Download here.

Other Articles